PENJARA SUCI ??
Oleh
: Abdullah Izzudin Hanif
Gerimis
menyelimuti senja. Udara terasa dingin dan lembap. Langit yang semula biru tak
berawan, kini menjadi redup dengan hadirnya Awan Hitam yang seakan bosan dengan
tempatnya. Gema tawa dan hentakan kaki terhenti ketika sayup-sayup terdengar
suara tetesan air yang semakin lama semakin menderu kencang. Burung-burung yang
sedang bernyanyi riang, kini berterbangan mencari tempat aman. Gerimis itu
menjadi hujan.
“Hujan! Selamtkan pakaian antum
!!” teriak seseorang dari luar mulai memecah keheningan. Serentak sekerumunan
orang dari berbagai arah barlari keluar menuju halaman belakang bagaikan
kawanan Kuda yang berlari kencang. Aku tidak berlari karena aku memang sedang
tidak menjemur pakaian. Sekilasku perhatikan mereka yang tengah berlari,
terutama seseorang yang sangat dekat denganku.
Namanya
Alfi.
Sosok
yang bertubuh tinggi, berbadan bulat, dan wajah dengan tahi lalat yang menempel
di kelopak mata kanannya itu terlihat terus berlari dengan tergopoh-gopoh. Dia
tampak keberatan dengan badan besarnya, dia berhasil melewati satu dua orang,
Namun, disusul lagi dari belakang kemudian jatuh terpeleset. Aku tertewa lepas.
Kemudian, mereka menghilang sesaat setelah melewati jalan kecil yang
menghubungkan antara halaman belakang dengan “Rumah” kami.
Terlepas
dari semua itu, aku sedang memikirkan hal lain. Sejenak aku termenung diantara
derasnya hujan, termangu lama hingga tak terasa udara dingin mulai menusuk
tulang, hanyut dalam ingatan masa lalu, masa-masa saat aku menjadi bagian dari
Rumah ini. Aku menatap lamat-lamat, memperhatikan sekitar.
***
Rumah
kami sendiri sangat sederhana. Kumpulan bangunan putih yang seragam warna
putihnya itu terletak di sebuah jalan tak bernama dengan deretan pohon kelapa
yang membatasi kawasan kami dengan persawahan, daerah Kesugihan di Cilacap.
Rumah kami lebih sering dikenal dengan sebutan “Pesantren”.
Masjid
yang dikelilingi oleh bangunan disekitarnya, nampak kokoh berdiri di hamparan
tanah seluas 5 Hektar dengar eloknya. Azannya begitu terdengar merdu dan
nyaring bagi penghuni jalan itu. Hingga fajar tiba pun orang-orang ramai
berbondong-bondong menuju Masjid,meskipun dengan mata yang sembap dan mulut
yang menguap-nguap. Kamar Asrama dan Madrasahnya beralaskan lantai putih,
sangat sederhanadengan tembok hijau yang kusam karena air hujan yang sering
mengguyur jalan itu. Kisi-kisi dan pintu kayu cokelat pun sudah keropos dimakan
rayap, memberikan celah bagi nyamuk-nyamuk yang bebes mengganggu lelepnya tidur
dan ketenangan belajar mereka.
“Hamdan!”
Aku
terkejut lantas menoleh, seseorang memenggilku dengan suara berat serta nafas
yang tersengal-sengal. Lihatlah, tubuhnya basah kuyup dengan rambut basah
acak-acakan dan baju putihnya yang penuh dengan noda lumpur, terlihat
kelelahan. Dia berdiri sembari membawa pakaiannya yang kehujanan, lantas
mengambil handuk birunya untuk mengeringkan rambut dan badan. Kemudian, dia
mengganti baju dan lantas menghampiriku.
“Sedang
memikirkan apa, Dan?” dia mulai bertanya heran, melihatku yang tengah menyendiri
di luar kamar, apalagi disaat hujan seperti sekarang ini.
“Sedang
memikirkan hujan, Fi.” jawabku asal.
“buat
apa hujan dipikirin, gak ada kerjaan?!” jawab alfi kesal.
“Ah,
santai... bercanda, Fi.” balasku menjawab nada kesal darinya yang tiba-tiba
menjadi sangat sensitif.
“Bagaimana,
selamat baju ente?” aku mulai mengalihkan topik pembicaraan.
“Bajunya
selamat... ane yang jatuh.” jelas Alfi.
Sontak,
aku tak tahan lagi menahan tawa saat kupandang wajah kusut Alfi yang
bersungut-sungut.
“Yee...
dijelasin malah ketawa, gak jelas ente, Dan.” jelas Alfi yang tambah
kesal.
“Tanpa
rasa sakit, tidak ada yang bisa didapat, Fi.” tuturku.
“Sudah,
mandi yuk. Biasanya kalau sudah hujan begini, besoknya pasti banyak yang
sakit.” ajak Alfi.
“Hahaha....
namanya juga Santri.” aku tertawa mendengar celotehan Alfi. Kami lantas
berjalan menuju kamar. Kemudian, mengambil peralatan mandi masing-masing,
lantas berjalan pergi menyusuri lorong asrama, meninggalkan bunyi hujan yang
terus berirama di langit senja.
***
Awan
hitam masih memayungi bumi santri. Guyuran air hujan disertai irama petir
bergemuruh. Memberikan rahmat semesta kepada Alam. Percikan air mulai membasahi
lantai lorong, membuatku berjalan lebih berhati-hati. Namun, tiba-tiba Alfi
berlari mendahuluiku hendak mengambil hak antre yang kosong.
“Alfi!”
teriakku hendak mengejarnya. Tetapi, dia tak kunjung membalas, dia terus
berlari namun dengan langkah yang berhati-hati, agar kejadian sore tadi tidak
berulang kembali. Mungkin, dia hendak menghemat waktunya yang semakin lama
semakin menipis, supaya tidak terlambat saat pembacaan Al-Ma’tsurat nanti, atau
tidak dia harus berurusan dengan bagian DKM (Dewan Kemakmuran Masjid) yang
terkenal rajin menghukum para santri.
Namun
sayang, kami datang disaat yang kurang tepat. Wajah ku yang baru saja mengukir harapan,
bermimpi dapat mandi awal agar terbebas
dari jerat hukuman yang menyeramkan, kini menjadi lukisan datar tanpa ekspresi.
Begitu juga wajah Alfi yang sedari tadi melukiskan semangat juang kemerdekaan,
kini pupus saat memandang kamar mandi yang sudah di jajah oleh antrean panjang
para santri yang berderet rapi. ‘Mohon bersabar... ini Ujian...’ Mungkin,
itu kata yang tepat untuk menjudulkan ekspresi wajah kami yang berubah menjadi
depresi.
“Yah...
beginilah keadaannya.” keluh Alfi.
“Bersyukur,
Fi.” ujarku yang hanya dijawab hela nafas pelan darinya.
Hening
diantara kami, yang bisa kami lakukan kini hanyalah berdiri pasrah dan bersabar
menunggu antrean panjang. Kemudian, satu persatu santri mulai berkurang
menyisakan 10 orang per kamar mandi. Di saat yang sama, Aku mulai memperhatikan
kawan yang berada di antrean sebelahku itu. Entah kenapa, tatapannya menjadi
kosong, seakan menerawang jauh menuju khayalannya dengan tubuh yang diam
terpaku diantara suara deburan air dari dalam kamar mandi. Mungkin, dia sedang
memikirkan sesuatu yang selama ini masih menggerogoti pikirannya.
“Entah
kenapa, susah rasanya melupakan keluarga, sahabat, dan kenangan semasa di
rumah, kenapa ya, Dan?” tiba-tiba sesuatu keluar dari mulut Alfi dengan suara
yang lirih, terdengar samar-samar di telingaku yang kini mulai memecah
keheningan diantara kami.
“Haa..”
ujarku meminta dirinya untuk mengulang.
“Kenapa
aku selalu merindukan Rumah, rindu dengan rutinitas yang biasa aku jalani sehari-hari,
Dan?” tanyanya mendesak, mulai mencurahkan bentuk isi hatinya kepadaku.
“Jika
kamu belum bisa untuk melupakan Orang tua, Sahabat, dan yang lain-lain. Maka
itu wajar, karena kita di Pesantren, dan Pesantren mengajarkan kita untuk
selalu mengingat, bukan untuk melupakan.” wajah Alfi mulai tampak menunjukkan
sepercik jawaban yang sudah dinanti-nantikannya. Namun, rasa belum puas masih
tergambar di raut wajahnya.
“Mungkin..
Tapi aku rasa, aku belum siap untuk menjalani hidup di masa mendatang.”
tanyanya masih penasaran.
“Oleh
karena itu, kau kini berada di Pesantren, supaya bekal kemandirianmu bertambah.
Kelak, ketika sudah beristri, beranak-pinak, bahkan hingga kau telah memiliki
cucu nanti, kau sudah siap.”
“Dengan
semua keadaan ini?”
“Jangan
pikirkan soal bukit, tapi pikirkan apa yang ada di baliknya dan bagaimana cara
untuk menggapainya.”
“Setelah
itu?”
“Raihlah
mimpimu.”
“Aku
masih ragu dengan mimpiku, aku takut jika mimpi itu terlalu tinggi untuk di
raih.”
“Buat
apa takut? Bermimpilah setinggi Langit, walaupun jatuh setidaknya kita pernah
melihat Bintang.” jelasku panjang lebar berusaha meyakini dan menasehati
sahabatku itu.
Alfi
tertegun, mematung sejenak. Matanya mulai menerawang jauh, berusaha mencerna
maksud dari perkataanku tadi.
“Dan
setelah kehidupan yang sementara ini, akan ada Alam yang Abadi. Dunia ini hanya
Sarana, sob.... Akhiratlah tujuan kita. Maka dengan pesantren inilah kita di
didik agar dapat menjadi Hamba Allah yang sukses di dunia maupun di akhirat.”
aku mulai melanjutkan.
Pandangan
kosong Alfi tiba-tiba langsung mengarah menuju mataku tajam, tampak antusias.
“Setidaknya
selama di Dunia ini. Shalat kita jangan sampai tertinggal. Sebab, Hidup ini
tidak lain hanyalah penantian, menanti waktu shalat dan waktu di shalatkan....”
lanjutku.
“....dan
jangan lupa tanam kan kejujuran, karena Jujur itu keren apa adanya.” tambahku.
Sungguh,
topik kali ini berbeda dari topik yang biasa kami diskusikan, topik kali ini
membicarakan tentang keluhan Alfi. Biasanya kami membicarakan Pelajaran, Bercanda,
Trik-trik kabur,dan Akhwat. Namun kali ini lain. Dan yang harus
dilakukan Alfi kini hanyalah Ikhtiar untuk merubah jalan hidup menjadi
lebih baik dan Tawakkal untuk mendapatkan kemudahan dari segala urusan
karena yang berkehendak hanyalah Allah SWT.
***
Namun
ketika kami masih sibuk berbincang, tiba-tiba seseorang mendorongku hingga
terjatuh tersungkur, terdengar suara tertawaan dari dekat yang membuatku jijik
saat mendengarnya.
“Hahaha..!!
disenggol dikit aja Jatuh, dasar lemah.” seseorang datang beserta anak buahnya
mulai mengolok-olokku dengan air liur yang terus keluar dari mulutnya, membuat
Hujan lokal.
“Maksudmu
apa, Bal?!” Tanyaku kepadanya yang entah kenapa selalu syirik kepadaku.
“Aku
hanya ingin mandi kok, Bocah!” kata Iqbal mulai membunyikan sirine perang.
Namun,
disaat yang sama, sebuah Botol sabun tiba-tiba mendarat mulus di wajah Iqbal
membuatnya mengaduh kesakitan.
“Woyy,
siapa yang melempar nih, Maju kalau kau laki!!” bentaknya membuat seseorang
berjalan mendekat menghampiri.
“Kenapa?!” tanya Alfi
“Ohh...
jadi anak kompleks pinggiran, udah sok jagoan aja!!” ujar Iqbal disertai
tawa anak buahnya yang mulai membakar amarah Alfi.
“Maksud
antum?!” tanya Alfi.
“Yah...
Anak komplek pinggiran kan suka melanggar aturan, Alfi!!” Iqbal
menjelaskan yang seketika membuat satu pukulan meluncur cepat menghantam wajah
tirusnya.
Iqbal yang tidak terima segera
melakukan serangan balasan yang menjadikan Baku Hantam tidak dapat dihindarkan,
membuat kericuhan di kamar mandi. Disekitar kami tidak ada satupun yang berani
melerai, biarlah urusan ini terselesaikan dengan cara “Lelaki”. Namun, semakin
lama pertarungan ini semakin sengit. Mereka saling menjual-beli pukulan hingga
Darah segar mengucur deras di kepala Iqbal. Kami yang menyaksikan tak kuasa
untuk melanjutkannya, kami yang berada di sini berusaha melerai mereka yang
bertarung seperti Singa di padang pasir.
Ketika mereka berhasil kami
lerai, tiba-tiba dia berteriak. “WOYY!! DENGARKAN INI BAIK-BAIK. ‘ORANG YANG
TIDAK MENTAATI PERATURAN ADALAH SAMPAH. TETAPI ORANG YANG TIDAK MENGHARGAI
TEMANNYA, LEBIH BURUK DARI SAMPAH !!” teriaknya yang membuat seisi ruangan ini
hening.
“HEI ! Ada apa ribut-ribut
disini!” sesosok Orang yang Bijaksana itu datang dan mulai memecah keheningan.
“Loh, kok kamu berdarah Iqbal?”
dia mulai bertanya kebingungan.
“Dia yang mulai duluan, Ustadz!”
kata salah seorang anak buah Iqbal menunjuk Alfi.
“Betul, Alfi?” kata Ustadz
sembari melihat Iqbal dan Alfi yang bersimpuh darah
“Sebaliknya Ustadz!” jawabku
membelanya.
“Sudah, lebih baik ikut saya ke Mahkamah.”
ujarnya yang kemudian mulai diikuti oleh Iqbal dan Alfi yang di bopong olehku.
***
Mengenai masa-masa kami disini. Semua orang yang
berada di Pesantren ini di didik dengan disiplin Islam yang ketat. Terutama
Ustadz Hakim Kepala Keamanan Pesantren. Ustadz Hakim yang besar dan Tinggi,
Namun penampilannya begitu bersahaja dengan kopiah, sarung, dan baju koko yang
selalu rapi. Sifatnya yang tenang, sabar tetapi tegas selalu terpancar di
wajahnya. Setiap pagi semua santri dari berbagai usia dibangunkan untuk Shalat
Subuh. Shalat Lima waktu dan Hafalan Al-Qur’an adalah kepentingan yang tidak
bisa ditawar sama sekali. Mungkin karena itulah aku selalu bangun paling awal,
tak peduli kapan aku tidur tadi malamnya. Kebiasaan itu terbawa hingga berpuluh
tahun kemudian.
Berbeda dengan Alfi. Entah setan
apa yang telah merasuki dirinya, dia menganggap Pesantren adalah “Penjara”. Dia
merasa sedang dikurung di dalam Lapas dalam jangka waktu yang cukup lama. Jadi,
dia melakukan semua ini semata-mata hanya untuk melaksanakan perintah orang tua
agar tidak di cap sebagai anak yang durhaka. Maka tak jarang aku menasihatinya.
Namun,
di balik semua itu, Alfi tetaplah orang yang baik dan peduli, tak jarang aku
melihatnya bersedekah, walaupun hanya di saat Shalat Jum’at karena itu sudah
termasuk hal yamng mulia. “Orang cerdas adalah orang yang sedekah dulu baru
kaya, bukan kaya baru sedekah.” Mungkin itu yang tertanam dalam benak Alfi
dari sekian banyak Nasehat yang pernah kuberikan untuknya. Dan akhir-akhir ini
aku selalu melihat dirinya merenungkan diri di bawah Rembulan, diantara
megahnya langit bertaburkan Bintang, di dalam Penjara yang sedang dibencinya,
menikmati indahnya kasih sang kuasa, memikirkan sesuatu yang agar dikehendakinya
menjadi nyata.
Matahari
mulai memancarkan sinarnya diiringi suara Ayam yang menghiasi Pagi cerah ini.
Di saat yang sama Ustadz Hakim yang berjalan panik menuju kamarku, membuat
seisi anggota Asrama kebingungan. Namun, aku merasakan kejanggalan.
“Dimana,
Alfi!” tanyanya yang seharusnya sama denganku ‘Dimanakah Alfi, apakah dia
kabur?’ mungkin itu yang kini menjadi bahan pembicaraan hari ini. Terdengar
lagi kabar yang sama bahwa uang pesantren telah hilang senilai Rp
20.000.000,00. ‘Apakah Alfi kabur lalu mencuri uang pesantren, benar-benar
TEGA!!’.
Namun,dengan
cepat Ustadz Hakim mengerahkan seluruh anggota keamanan untuk mengetahui
dimanakah kabar Alfi sekarang. ‘Ya ampun, apa yang dilakukan Alfi
benar-benar keterlaluan.’ Gumamku didalam hati. Seketika kabar cepat pun
datang dari Polisi setempat bahwa ia tadi malam ia melihat seorang bocah sedang
mengejar seseorang yang tidak ia ketahui, usut punya usut ternyata dia adalah
Maling yang kini sedang berada di Ruang Jenazah di Rumah Sakit Bhayangkara
unutuk dilakukan autopsi. Sedangkan bocah tersebut ditemukan tak sadarkan diri
setelah berusaha merebut karung dari Maling itu.
Kami
serentak pergi menuju Rumah Sakit tersebut, dengan naik bus kami berhasil
sampai. Kemudian, kami menanyakan nama kawanku itu, lalu kami menghampirinya
dan menatapnya dengan penuh rasa bangga. Dirinya kini sedang tertidur dengan
selang infus yang menempel di badannya. Kami berusaha mendoakannya yang semakin
lama semakin beranjak siuman. Ia membuka matanya diiringi ucapan “Alhamdulillah”
secara serentak dari kami bahkan Iqbal. Kemudian dia berkata.
“Hingga
aku tak bernyawa, rasa setiaku kan senantiasa nyata..”
***
Ndae nif lah :v
BalasHapus